Rabu, 09 Desember 2015

PENGUJIAN AKTIVITAS ENZIM PADA BATING AGENT



LAPORAN

PRAKTIKUM PENGUJIAN AKTIVITAS ENZIM
PADA BATING AGENT




Disusun Oleh :
DISTYA RESTI ANDRIA P
NIM. 130101025
Teknologi Bahan Kulit-A
Kelompok 4


KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN RI
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN INDUSTRI
POLITEKNIK ATK
YOGYAKARTA
2015



I.          TUJUAN
Maksud dan tujuan dari praktikum pemanfaatan enzim ini adalah :
1.    Mengetahui aktivitas atau kekuatan enzim pada bating agent
2.    Menguji aktivitas enzim pada bating agent berdasarkan lama waktu pendiaman

II.          DASAR TEORI
A.    Enzim
Enzim adalah suatu katalis biologis yang dapat mempercepat terjadinya keseimbangan suatu reaksi kimia. Bisa pula dikatakan enzim sebagai protein dengan sifat katalitik, dimana sifat katalitiknya jauh lebih besar daripada katalis sintetis yang dibuat secara kimia oleh manusia. Enzim juga memiliki spesifitas tinggi terhadap substrat, atau dengan kata lain hanya mau mengkatalis reaksi tertentu dengan substrat tertentu saja. Kelebihan enzim sebagai pengkatalis adalah dapat mempercepat reaksi kimia spesifik tanpa pembentukan produk samping. Umumnya enzim punya berat molekul jauh lebih besar daripada substrat yang dikatalisnya ( Winarno, 1995 ).
Menurut Gaman & Sherrington (1994), enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan beperan sebagai katalisator pada reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi pada hasil reaksi, substansi tersebut tidak berubah. Kebanyakan enzim diberi nama dengan menambahkan akhiran –ase pada kata yang menunjukkan senyawa asal yang diubah oleh enzim atau pada nama jenis reaksi kimia yang dikatalisis oleh enzim. Sebagai contoh enzim protease memecah protein, enzim lipase memecah lipida.
Fungsi khusus dari enzim adalah untuk menurunkan energi aktivasi, mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya tetapan keseimbangan sebagai pengendali reaksinya (Martoharsono, 1994).
Enzim dapat dilakukan dengan prinsip bahwa protein enzim dapat diendapkan dengan penambahan aseton, etanol, sodium sulfat atau ammonium sulfat. Sifat ini digunakan sebagai prinsip dari isolasi enzim. Enzim ini dapat diekstrak dan kemudian proses pengendapannya dapat dilakukan dengan penambahan garam (NH4)2SO4 (ammonium sulfat) (Rahman, 1992).



B.     Oropon
Oropon didasarkan pada enzim pankreas. aktif antara pH 7 dan 9. Oropon cocok untuk semua jenis kulit, terutama untuk kulit yang lembut oropan dapat melonggarkan serta memberikan elastisitas. Oropon berupa bubuk dengan nilai ph 5,0 – 7,0.

C.    ZA / Ammonium Sulfat
Dalam biokimia, pengendapan ammonium sulfat ialah suatu cara biasa untuk memurnikan protein melalui pengendapan selektif. Ammonium sulfat sangat larut dalam air dan dapat membuat larutan sangat pekat, yang dapat membuat protein mengalami “salt out”, yang menyebabkan pengendapan pada konsentrasi tertentu. Ini memberikan sesuatu yang berarti dan sederhana untuk memfraksinasikan campuran protein kompleks (Anonim, 2014).

D.    Kasein
Kasein merupakan komplek senyawa protein dengan garam Ca, P dan sejumlah kecil Mg dan sitrat sebagai agregat makromolekul yang disebut kalsium fosfo kaseinat atau misel kasein (Eskin et al., 1990). Kasein dapat dipresipitasi oleh asam atau enzim rennin dan presipitasi kasein oleh rennin ini merupakan dasar untuk pembentukan curd dalam keju (Bath et al., 1985).
Kasein merupakan salah satu protein dalam susu yang diketahui jumlahnya paling banyak dalam susu. Polimorfisme gen kasein susu telah dihubungkan dengan perbedaan komposisi susu, prosesing dan kualitas (MCLEAN, 1987) dan juga dengan karakteristik produksi (Lien et al., 1986).

E.     Larutan Buffer
Larutan Buffer atau larutan penyangga adalah larutan yang bersifat mempertahankan pH-nya, jika ditambahkan sedikit asam atau sedikit basa atau diencerkan. Larutan penyangga merupakan campuran asam lemah dengan basa konjugasinya atau campuran basa lemah dengan asam konjugasinya. Nilai pH larutan buffer tidak berubah (konstan) setelah penambahan sejumlah asam, basa, maupun air. Larutan buffer mampu menetralkan penambahan asam maupun basa dari luar (Utami, 2009).
Menurut Keenan et al (1980), larutan buffer memiliki komponen asam yang dapat menahan kenaikan pH dan komponen basa yang dapat menahan penurunan pH. Komponen tersebut merupakan konjugat dari asam basa lemah penyusun larutan buffer itu sendiri. Dengan demikian, larutan penyangga merupakan larutan yang dibentuk oleh reaksi suatu asam lemah dengan basa konjugatnya ataupun basa lemah dengan asam konjugatnya. Reaksi ini disebut sebagai reaksi asam-basa konjugasi.

·      Larutan penyangga yang bersifat asam
Larutan ini mempertahankan pH pada daerah asam (pH < 7). Larutan ini dapat dibuat dari asam lemah dan garamnya (yang merupakan basa konjugasi dari asamnya). Adapun cara lainnya yaitu mencampurkan suatu asam lemah dengan suatu basa kuat, asam lemahnya dicampurkan dalam jumlah berlebih. Campuran akan menghasilkan garam yang mengandung basa konjugasi dari asam lemah yang bersangkutan. Pada umumnya basa kuat yang digunakan seperti natrium hidroksida, kalium hidroksida, barium hidroksida, kalsium hidroksida, dan lain-lain.
·      Larutan penyangga yang bersifat basa
Larutan ini mempertahankan pH pada daerah basa (pH > 7). Larutan ini dapat dibuat dari basa lemah dan garam (yang berasal dari asam kuat). Adapun cara lainnya yaitu: mencampurkan suatu basa lemah dengan suatu asam kuat dimana basa lemahnya dicampurkan berlebih.
Larutan buffer diperlukan untuk menjaga pH yang tepat untuk enzim dalam banyak organisme untuk bekerja. Banyak enzim bekerja hanya pada kondisi sangat tepat, bila pH bergerak ke luar dari rentang yang sempit, maka kerja enzim melambat atau bahkan berhenti dan dapat mengalami denaturasi atau kehilangan sifat alaminya. Dalam banyak kasus denaturasi dapat melumpuhkan aktivitas katalitiknya secara permanen (Anonim, 2014).

F.     Bating Agent
Bating agent adalah bahan untuk proses bating dalam penyamakan kulit atau untuk mengikis protein pada kulit yaitu penghilangan akhir pada komponen kulit yang bukan kolagen  meliputi protein globular, elastin dan sisa struktur sel, yang terjadi proses enzimatis. Pada proses bating terjadi proses pelisisan zat-zat kimia, terbentuk void space dan terurainya (splitting) berkas serabut kolagen. Zat-zat kimia yang dilisis oleh enzim dalam proses bating adalah protein elastin, protein globular, lemak, karbohidrat, sel-sel pada epitel folikel rambut, epidermis dan pembuluh darah.
Sumber-sumber enzim yang dapat digunakan pada proses pembuatan bating agent dapat diperoleh dari sel-sel pada tumbuhan, sel-sel pada organ pankreas hewan, dan dalam sel mikroba. Perbedaan antara ketiga sumber enzim tersebut adalah pada letak dimana enzim itu dapat dipanen, kekuatan enzimnya, dan cara memanennya.  Enzim pada tumbuhan terletak pada getahnya, enzim pada hewan terletak pada kelenjar pankreas, sedangkan enzim pada mikroba terletak pada sitoplasma sel-selnya.
Bating agent selain bersumber dari tumbuhan, hewan, dan bakteri, juga dapat diperoleh dari bahan paten/ bating agent patent. Bating agent patent dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama karena kondisinya kering, terdapat bahan pengawet di dalamnya dan dikemas dalam keadaan kedap udara. Komponen yang terdapat dalam bating agent patent adalah enzim campuran (crude enzim). Crude enzim terdiri dari bahan pengawet sekaligus juga sebagai pengikat (enzim menempel) enzim dan bahan pengisi. Contoh dari bahan yang mempunyai fungsi sebagai pengawet dan pengikat enzim adalah ZA, ammonium sulfat, dll. Bahan pengisi termasuk juga untuk menentukan kekuatan/ menstabilkan kekuatan enzim. Contoh dari bahan pengisi adalah tepung kanji, tepung gergaji yang tidak mengandung zat tannin,dll. Sebagai contoh dari bating agent patent adalah oropon, pancreol, palkobate, dll.
Bating agent berisi enzim yang berfungsi untuk melisis substrat dari zat tertentu. Substrat-substrat yang dilisis oleh enzim itu adalah cairan jaringan, substansi dasar, protein elastis, protein globular dan senyawa kimia yang larut dalam substansi dasar dan cairan jaringan (Khurry, 2012)

G.    Presipitasi Kasein
Presipitas adalah pengendapan, yaitu pembentukan zat solid dalam larutan atau dalam lainnya selama reaksi kimia atau oleh difusi dalam padatan, dimana zat terlarut tidak larut dengan pelarut dan terbentuklah endapan. Presipitas juga memiliki definisi suatu makroskopik yang menghasilkan perubahan yang visible (peningkatan viskositas atau kekeruhan pada larutan) (http://www.slideshare.net/fransiskaputeri/acara-iii-paling-anyar).
Kasein akan mengalami presipitasi apabila ditambah dengan alkohol, enzim, asam atau dengan penurunan pH, atau dapat pula dengan centrifuse kecepatan tinggi. Presipitasi protein adalah pengendapan yang terjadi karena penggumpalan yang parsial. presipitasi disebabkan oleh berkurangnya kelarutan protein (perubahan fisik) yang terjadi karena perubahan kimia. Seperti halnya denaturasi protein, presipitasi juga disebabkan oleh faktor kimia dan fisika. Semua faktor yang terjadi pada denaturasi juga terjadi pada presipitasi protein. Semua faktor yang dapat menimbulkan denaturasi protein, juga dapat menyebabkan perubahan kelarutan protein. Dengan demikian presipitasi protein merupakan fenomena fisika yang disebabkan oleh perubahan struktur kimia.
Presipitasi disebabkan oleh  pengembangan molekul protein akibat unfolding atau membukanya heliks-heliks  protein. Presipitasi juga terjadi akibat terganggunya kesetabilan koloid yang disebabkan oleh menurunnya muatan elektrostatik protein sehingga gaya gravitasi akan lebih dominan dibandingkan gaya tolak-menolak antar molekul. Kesimpulannya adalah presipitasi protein merupakan fenomena berkurangnya kelarutan suatu protein yang disebabkan oleh perubahan struktur kimia (Puspita, 2015).

H.    Aktivitas enzim
Aktivitas enzim didefinisikan sebagai laju reaksi kimia berkatalis enzim dalam mengubah substrat menjadi produk. Aktivitas bergantung pada konsentrasi enzim dan keadaan reaksi seperti pH, suhu. Aktivitas enzim sering diukur dengan mengikuti munculnya produk berwarna atau menghilangnya substrat warna dalam waktu beberapa waktu (Ayu, 2012).
Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang bereaksi dengan demikian mempercepat proses reaksi. Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi. Sebagian besar enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.
Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain. Inhibitor adalah molekul yang menurunkan aktivitas enzim, sedangkan aktivator adalah yang meningkatkan aktivitas enzim (http://id.wikipedia.org/wiki/Enzim).
Jumlah enzim di dalam larutan atau ekstrak jaringan tertentu dapat diuji secara kuantitatif dalam hal pengaruh katalitik yang dihasilkannya. Biasanya, enzim diuji pada pH optimum, pada suhu yang mudah dipergunakan, biasanya dalam kisaran 25 sampai 38°C, dan dengan konsentrasi substrat yang mendekati jenuh. Pada keadaan ini, kecepatan reaksi awal biasanya sebanding dengan konsentrasi enzim, sedikitnya pada kisaran konsentrasi enzim tertentu.
Dengan persetujuan internasional, 1 unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah yang menyebabkan pengubahan 1 mikromol substrat per menit pada 25oC pada keadaan pengukuran optimal. Aktivitas spesifik adalah Jumlah unit enzim per mg protein atau besarnya aktivitas enzim per jumlah protein yang terkandung dalam campuran enzim yang diuji. Makin besar suatu aktivitas spesifik enzim, maka makin besar tingkat kemurnian suatu enzim karena aktivitas spesifik merupakan suatu ukuran kemurnian enzim, nilainya meningkat selama pemurnian suatu enzim dan menjadi maksimum dan tetap (konstan) jika enzim sudah berada pada keadaan murni (Anonim, 2013).
Kekhususan aktivitas enzim adalah peranannya sebagai katalis hanya terhadap satu reaksi atau beberapa reaksi yang sejenis saja. Jadi dapat melibatkan beberapa jenis substrat. Kekuatan enzim didefinisikan sebagai kekuatan enzim untuk melisis substrat dalam waktu tertentu.
Menurut Khurry (2012), istilah aktivitas enzim biasanya digunakan untuk mengukur kekuatan enzim. Aktivitas enzim adalah kemampuan enzim untuk mendigesti substrat dalam pH dan suhu yang optimal dan jangka waktu tertentu. Aktivitas enzim mempunyai satuan unit enzim berdasarkan standar unit enzim. Unit enzim adalah satuan yang menunjukkan aktivitas enzim berdasarkan berapa substrat yang terdigesti dalam satuan waktu tertentu. Setiap enzim untuk dibandingkan aktivitasnya, masing-masing harus dalam kondisi lingkungan optimal (aktivitasnya optimal). Kalau tidak dilakukan dalam kondisi optimal maka tidak dapat dibandingkan.  Lingkungan optimal meliputi kondisi aktivitas, perlakuannya hati-hati dan teliti, serta harus sesuai tahapan/ prosedur.

I.       Faktor yang Mempengaruhi Kerja Enzim
Beberapa faktor  yang mempengaruhi kerja enzim adalah sebagai berikut :
1.      Suhu
Sebagian besar enzim mempunyai suhu optimum yang sama dengan suhu normal sel  organisme tersebut. Suhu optimum enzim pada hewan poikilotermik di daerah dingin  biasanya lebih rendah daripada enzim pada hewan homeotermik. Contohnya, suhu  optimum enzim pada manusia adalah 37 derajat celcius, sedangkan pada katak adalah 25  Derajat Celcius.
Kenaikan suhu di atas suhu optimum dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan  aktivitas enzim. Secara umum, tiap kenaikan suhu 10 derajat C, kecepatan reaksi menjadi  dua kali lipat dalam batas suhu yang wajar. Hal tersebut juga berlaku pada enzim. Panas  yang ditimbulkan akibat kenaikan suhu dapat mempercepat reaksi sehingga kecepatan  molekul meningkat. Hasilnya adalah frekuensi dan daya tumbukan molekuler juga  meningkat.
Akibat kenaikan suhu dalam batas tidak wajar, terjadi perubahan struktur enzim  (denaturasi). Enzim yang terdenaturasi akan kehilangan  kemampuan katalisnya. Sebagian  besar enzim mengalami denaturasi yang tidak dapat balik pada  suhu 55-65 Derajat C.  Enzim yang secara fisik telah rusak biasanya tidak dapat diperbaiki lagi. Hal tersebut  merupakan salah satu alasan  bahwa enzim lebih aman dimakan pada makanan yang  sudah dimasak.Khususnya daging dan telur dari pada makanan mentah.
Pengontrolan panas terhadap susu dan makanan dengan bahan susu lainya secara  dramatis mengurangi penyebaran penyakit seperti TBC. Pada suhu kurang dari suhu  optimum, aktivitas enzim mengalami penurunan. Enzim masih beraktivitas pada suhu  kurang dari 0 derajat C dan aktivitasnya hampir terhenti pada suhu 196 derajat C.
2.      pH atau keasaman
Seluruh enzim peka terhadap perubahan derajat keasaman (pH). Enzim menjadi nonaktif  bila diperlakukan pada asam basa yang sangat kuat. Sebagian besar enzim dapat bekerja  paling efektif pada kisaran pH lingkungan yang agak sempit. Diluar pH optimum tersebut,  kenaikan atau penurunan pH menyebabkan penurunan aktivitas enzim dengan cepat.  Misalnya, enzim pencerna dilambung mempunyai pH optimum 2 sehingga hanya dapat  bekerja pada kondisi sangat asam. Sebaliknya, enzim pencerna protein yang dihasilkan  pankreas  mempunyai pH Optimum 8,5 .  Kebanyakan enzim intrasel mempunyai pH optimum sekitar 7,0 (netral).
Pengaruh pH terhadap kerja enzim dapat terdeteksi karena enzim terdiri atas protein.  Jumlah muatan positif dan negative yang terkandung didalam molekul protein serta bentuk permukaan protein sebagian ditentukan oleh pH.
3.      Kosentrasi enzim, substrat dan kofaktor.
Jika pH dan suhu suatu sistem enzim dalam keadaan konstan serta jumlah substrat  berlebihan, laju reaksi adalah sebanding dengan enzim yang ada. Jika pH, suhu, dan  konsentrasi enzim dalam keadaan konstan, reaksi awal hingga batas tertentu sebanding  dengan substrat yang ada. Jika sistem enzim memerlukan suatu koenzim atau ion kofaktor  , konsentrasi subsrat dapat menentukan laju keseluruhan sistem enzim.
4.      Inhibitor enzim
Enzim dapat dihambat sementara atau tetap oleh inhibitor berupa zat kimia tertentu. Zat  kimia tersebut merupakan senyawa selain substrat yang biasa terikat pada sisi aktif enzim  (substrat normal) sehingga antara substrat dan inhibitor terjadi persaingan untuk  mendapatkan sisi aktif . Persaingan tersebut terjadi karena inhibitor biasanya mempunyai  kemiripan  kimiawi dengan substrat normal. Pada konsentrasi Substrat yang rendah akan  terlihat dampak inhibitor terhadap laju reaksi, kondisi tersebut berbalik bila konsentrasi  substrat naik.


III.          ALAT DAN BAHAN
ALAT :                                                      BAHAN:
1.    Gelas arloji                                             1. kasein
2.    Neraca analitik                                       2. Larutan Buffer I
3.    Labu ukur 1000 ml & 500 ml                3. Aquades
4.    Corong kaca                                          4. Oropon
5.    Gelas beker 500 ml                                5. Air kran
6.    Pipet volume 25 ml                                6. ZA
7.    Gelas ukur 100 ml                                 7. Larutan Buffer II
8.    Erlenmeyer 250 ml
9.    Oven
10.     Kertas saring
11.     Propipet

IV.          CARA KERJA
A.    Pembuatan Larutan Bating Agent
1.    Menimbang 5 gram Oropon dan 5 gram ZA
2.     Memasukkan 5 gram Oropon ke labu ukur 500 ml
3.    Melarutkan ZA dengan sedikit air kran
4.    Memasukkan ZA yang telah larut ke dalam labu ukur yang berisi oropan dan menambahkan air kran hingga tanda batas
5.    Mengocok larutan hingga homogen

B.     Pembuatan Larutan Kasein
1.    Menimbang 2,5 gram kasein
2.    Memasukkan kasein ke labu ukur 1000 ml
3.    Menambahkan 100 ml larutan Buffer I
4.    Menambahkan aquades hingga tanda batas

C.    Pembuatan Sampel
1.    Sampel I
a.    Memipet 25 ml larutan kasein dan memasukkan ke erlenmeyer 250 ml
b.    Menambahkan 25 ml larutan bating agent
c.    Menambahkan 25 ml larutan Buffer II
d.   Tidak boleh diaduk atau dikocok
e.    Menyaring menggunakan kertas saring whatman 40 yang telah diketahui beratnya (setelah oven)
f.     Melipat kertas saring yang berisi residu secara simetris dan mengoven pada suhu 105oC selama 1 malam.
g.    Mendinginkan kertas saring + residu dalam desikator selama 15 menit
h.    Menimbang kertas saring + residu
i.      Melakukan perhitungan

2.    Sampel 2
a.    Memipet 25 ml larutan kasein dan memasukkan ke erlenmeyer 250 ml
b.    Menambahkan 25 ml larutan bating agent
c.    Mendiamkan selama 30 menit
d.   Menambahkan 25 ml larutan Buffer II
e.    Tidak boleh diaduk atau dikocok
f.     Menyaring menggunakan kertas saring whatman 40 yang telah diketahui beratnya (setelah oven)
g.    Melipat kertas saring yang berisi residu secara simetris dan mengoven pada suhu 105oC selama 1 malam.
h.    Mendinginkan kertas saring + residu dalam desikator selama 15 menit
i.      Menimbang kertas saring + residu
j.      Melakukan perhitungan

3.    Sampel 3
a.    Memipet 25 ml larutan kasein dan memasukkan ke erlenmeyer 250 ml
b.    Menambahkan 25 ml larutan bating agent
c.    Mendiamkan selama 60 menit
d.   Menambahkan 25 ml larutan Buffer II
e.    Tidak boleh diaduk atau dikocok
f.     Menyaring menggunakan kertas saring whatman 40 yang telah diketahui beratnya (setelah oven)
g.    Melipat kertas saring yang berisi residu secara simetris dan mengoven pada suhu 105oC selama 1 malam.
h.    Mendinginkan kertas saring + residu dalam desikator selama 15 menit
i.      Menimbang kertas saring + residu
j.      Melakukan perhitungan


V.          DATA PENGAMATAN
No
Kertas saring kosong (oven)
(A)
Kertas saring + residu (oven)
(B)
Waktu
Residu
(B-A)
1
0,9225 gr
0,9713 gr
0 menit
0,0488 gr
2
0,9141 gr
0,9388 gr
30 menit
0,0247 gr
3
0,9319 gr
0,9436 grg
60 menit
0,0117 gr

VI.          PERHITUNGAN
Kasein (2,5mg/ 1000ml)
Jadi, 1 ml larutan ∞ 2,5 mg kasein
25 ml larutan∞ 25 x 2,5 mg = 62,5 mg
Residu I =  x 100%= 78%
Residu II =
Residu III =
Jadi, % kasein yang selektif adalah 78% sebagai Cp (casein presipitas)
1.      Perhitungan pada waktu 30 menit (metode Northrop)
Waktu 30 menit
C Residu =
Unit enzim =

2.      Perhitungan pada waktu 60 menit (metode Gross)
Cp            = 78%
Residu      = 11,7mg
C digesti  = Cp – residu
=
= 48,75mg – 11,7 mg
= 37,05 mg

Unit enzim =
 =
=
=
= 1762,6 UE (tinggi)

VII.                        PEMBAHASAN
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui dan menguji aktivitas enzim dalam bating agent. Dalam pengujian ini bating agent yang digunakan adalah oropon. Sampel dalam praktikum ini dibuat dengan tiga perlakuan yang berbeda dimana sampel 1 penambahan larutan buffer II  dilakukan segera setelah panambahan bating agent sedangkan pada sampel 2 sebelum penambahan larutan buffer II,  larutan didiamkan terlebih dahulu selama 30 menit dan sampel 3 selama 60 menit. Subtrat enzim yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah larutan kasein. Pendiaman selama 30 menit dan 60 menit bertujuan untuk memberi kesempatan enzim untuk beraktivitas, sedangkan penambahan larutan buffer II berfungsi untuk menghentikan aktifitas enzim. Buffer II digunakan sebagai kofaktor atau bahan untuk menghetikan kerja enzim karena pada saat penambahannya tercapai pH titik isoelektrik. Hal tersebut ditandai dengan terjadinya prestipasi atau penggumpalan pada kasein.
Larutan selanjutnya disaring dengan kertas watchman 40 untuk memisahkan endapan dengan larutan. Kertas watchman 40 ini sebelumnya telah dipanaskan dan ditimbang untuk mengetahui beratnya. Endapan yang tersaring atau residu selanjutnya dioven pada suhu 105oC selama 1 malam kemudian ditimbang beratnya untuk mengetahui berat residu. Pengovenan selama 1 malam dalam suhu 105oC dinilai sudah dapat pengeringkan residu yang tersaring dalam kertas saring sehingga diperoleh berat yang benar-benar kering.
Berdasarkan hasil penimbangan dapat diketahui berat residu masing-masing sampel yaitu pada sampel 1 sebesar 0,0488 gr, sampel 2 sebesar 0,0247 gr, dan sampel 3 sebesar 0,0117 gr. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa residu kasein pada sampel 1 yaitu 78%, pada sampel 2 yaitu 39,52%, sedangkan pada sampel 3 yaitu 18,72% dengan kasein selektif sebesar 78%. Pada sampel 1 belum ada aktivitas enzim sehingga residu yang dihasilkan masih banyak. Sedangkan pada sampel 2 dan 3 residu yang dihasilkan semakin sedikit, hal ini disebabkan karena enzim telah bereaksi dengan subtratnya untuk menghasilkan produk. Subtrat enzim semakin lama semakin terdigesti sehingga konsentrasi larutan sampel semakin rendah yang menyebabkan residu yang dihasilkan semakin kecil.
Aktivitas enzim biasanya digunakan untuk mengukur kekuatan enzim. Aktivitas enzim adalah kemampuan enzim untuk mendigesti substrat dalam pH dan suhu yang optimal dan jangka waktu tertentu. Aktivitas enzim mempunyai satuan unit enzim berdasarkan standar unit enzim. Unit enzim adalah satuan yang menunjukkan aktivitas enzim berdasarkan berapa substrat yang terdigesti dalam satuan waktu tertentu. Setiap enzim untuk dibandingkan aktivitasnya, masing-masing harus dalam kondisi lingkungan optimal (aktivitasnya optimal). Berdasarkan perhitungan dapat diketahui pada waktu pendiaman 30 menit dapat diketahui C digesti sebesar 1,646 mg dengan unit enzim sebesar 658,4 UE. Sedangkan pada waktu pendiaman 60 menit dapat diketahui C digesti sebesar 37,05 mg dengan unit enzim sebesar 1762,6 UE.
Unit enzim dikatakan rendah apabila nilainya kurang dari 500, dikatakan sedang apabila nilainya antara 500-1000, dan dikatakan tinggi apabila nilainya lebih dari 1000. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pada sampel 2, aktifitas enzim dapat dikatakan sedang dan pada sampel 3 aktivitas enzim tinggi. Semakin lama waktu pendiaman semakin lama enzim kontak dengan subtratnya dan semakin tinggi aktivitas enzim, dengan begitu semakin banyak pula subtrat enzim yang terdigesti. Hal ini ditunjukkan dengan pendiaman selama 60 menit C disgesti lebih besar dari pada pendiaman selama 30 menit.
Bila subtrat yaitu kasein ditambahkan dalam jumlah banyak, hal itu tidak mempengaruhi pada kekuatan enzim yang diperoleh. Karena kekuatan enzim banyak atau sedikitnya dipengaruhi oleh banyaknya enzim yang mendigesti subtrat, perbandingan filler yang digunakan, waktu yang digunakan untuk mendigesti kasein, pH, dan suhu.


VIII.                        KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa residu kasein pada sampel 1 yaitu 78%, pada sampel 2 yaitu 39,52%, sedangkan pada sampel 3 yaitu 18,72% dengan kasein selektif sebesar 78%.
2.      Pada waktu pendiaman 30 menit C digesti sebesar 1,646 mg, sedangkan pada waktu pendiaman 60 menit C digesti sebesar 37,05 mg.
3.      Pada waktu pendiaman 30 menit unit enzim sebesar 658,4 UE sehingga dapat dikatakan aktivitas enzim sedang.
4.      Pada waktu pendiaman 60 menit unit enzim sebesar 1762,6 UE sehingga dapat dikatakan aktivitas enzim tinggi.























DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. “Pengertian Enzim dan Koenzim”. http://bkulpenprofil.blogspot.co.id/2013/10/enzim-dan-porfirin.html. Diakses pada 5 Desember 2015
Anonim. 2014. “Amonium Sulfat”. https://wawasanilmukimia.wordpress.com/2014/01/09/ammonium-sulfat-kegunaannya/. Diakses pada 5 Desember 2015
Anonim. 2014. “Larutan Buffer”. https://wawasanilmukimia.wordpress.com/2014/02/14/larutan-buffer/. Diakses pada 5 Desember 2015
Ayu. 2012. “Laporan Praktikum Enzim”. https://ayukonye.wordpress.com/2010/12/28/laporan-praktikum-enzim/. Diakses pada 5 Desember 2015
Bath, D. L., F. N. Dickinson, H. A. Tucker and R. D. applemen. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Lea and Febiger. Philadelphia
Eskin, N. A. M., H. M. Handerson and R. J. Townsend. 1990. Biochemistry of foods. Academic Press,Inc. New York
Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Keenan, C.W., Kleinfelter, D.C., Wood, J.H. 1980. General College Chemistry, 6th edition. Knoxville: Harper and Row Publisher, Inc.
Khurry. 2012. “pembuatan bating agent dan pengujian aktivitas enzim”. http://khurriyatul.blogspot.co.id/2012/03/pembuatan-bating-agent-dan-pengujian.html. Diakses pada 5 Desember 2015
Lien, S. and S. Rogne. Bovine casein haplotypes number, frequencies and applicability as genetic markers. Animal Genetics 24: 373–376
Martoharsono, S. (1994). Biokimia I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
MCLEAN, D. M. 1987. Influence of milk protein variants on milk composition, yield, and cheese making properties. Animal Genetics 18: 100–102.
Puspita, Fika. 2015. “Laporan Gelasi dan Presipitasi Protein”. https://www.academia.edu/10130544/Laporan_Gelasi_dan_Presipitasi_Protein_Kimia_Pangan_1_ . Diakses pada 5 Desember 2015
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.
Utami, Budi, dkk. 2009. Kimia 2 untuk SMA/MA Kelas XI Program Ilmu Alam. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
Winarno, F. G. (1995). Enzim Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta